
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pendidikan
kesehatan tentang gigi dan rongga mulut di masayarakat kita dapat dikatakan
masih kurang. Seringkali masalah kesehatan gigi dan rongga mulut masih di nomor
duakan dengan yang lain. Padahal bila kesehatan gigi dan rongga mulut tidak
diperhatikan maka akan timbul penyakit yang dapat menjalar ke bagian tubuh
lain. Kesimpulannya kebersihan mulut sangat penting untuk dilaksanakan. Selain
untuk menjaga agar tidak terkena bakteri atau penyakit pada rongga mulut,
kebersihan mulut juga berfungsi melindungi agar gigi tidak terjadi karies.
Karies merupakan suatu penyakit jaringan keras gigi, yaitu email, dentin dan
sementum, yang disebabkan oleh aktivitas suatu jasad renik dalam suatu
karbohidrat yang dapat dirugikan. Akibatnya terjadinya invasi bakteri dan
kematian pulpa serta penyebarn infeksinya ke jaringan periapikal yang dapat
menyebabkan nyeri. Akhirnya gigi yang tumbuh dengan baik dicabut agar tidak
terjadi kerusakan yang lebih parah. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
terjadinya karies, misalnya menurunnya produktivitas saliva. Saliva secara
teori dapat membantu kebersihan dan kesehatan gigi, seperti aliran saliva dapat
menurunkan akumulasi plak pada permukaan gigi dan juga menaikkan tingkat
pembersihan karbohidrat dari rongga mulut (Ircham, 1984).
Karies
akan membawa dampak negatif bagi penderitanya, misalnya dari segi psikis akan
membuat penderitanya malu untuk tersenyum atau tertawa pada orang lain sehingga
lebih menutup pribadinya. Selain itu, dalam keadaan patologi jika karies
tersebut dibiarkan terus menerus sampai
pada akhirnya hanya menyisakan akar gigi maka gigi tersebut dapat dicabut atau
bila tidak dicabut akan menyebabkan suatu penyakit pada jaringan di sekitarnya (Ircham, 1984).
Cara-cara pencegahan dan penanganan karies dapat dilakukan bila
penderitanya mau dan ingin karena semuanya akan dikembalikan kepada penderita.
Pencegahan dapat dilakukan secara sederhana misalnya mengurangi makan makanan
yang manis dan banyak mengandung gula. Selain itu menyikat gigi secara teratur,
dan lebih baik lagi bila menyikat gigi sesudah makan. Bila terjadi karies maka
cara penanganannya adalah melihat dari segi faktor apa yang menyebabkan
penderita terkena karies (Ircham, 1984).
|
1.2 Rumusan Masalah
1.
Faktor – faktor apa saja
yang bisa menyebabkan karies ?
2.
Bagaimana proses
terjadinya karies ?
3.
Apa saja klasifikasi
dari karies ?
4.
bagaimana cara perawatan
karies ?
1.3 Tujuan
1.
Untuk mengetahui
faktor-faktor yang bisa menyebabkan karies.
2.
Untuk mengetahui proses
terjadinya karies.
3.
Untuk mengetahui
klasifikasi dari karies.
4.
Untuk mengetahui cara
perawatan karies.

TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Kerusakan gigi
Kerusakan gigi, yaitu
kondisi ketika individu mengalami gangguan pada pola perkembangan gigi atau
gangguan pada integritas struktur gigiyang diakibatkan oleh bakteri yang
tersimpan disela-sela gigi akibat tidak dibersihkan. Hasil dari aksi bakteri
yang hidup dalam plak, yang merupakan film, lengket keputihan dibentuk oleh
protein dalam saliva (musin) dan zat manis di mulut. Bakteri plak menempel
enamel gigi menggunakan gula dan pati dari partikel makanan di mulut untuk
menghasilkan asam (Lynda, 2009).
Batasan karakteristik dari kerusakan gigi :
a. Plak yang berlebihan
b. Karies pada mahkota dan akar gigi
c. Halitosis
d. Perubahan warna pada gigi
e. Sakit gigi
f.
Gigi
tanggal
g. Kalkulus yang berlebihan
h. Erupsi yang tidak sempurna
i.
Maloklusi
atau posisi gigi yang tidak tepat (Lynda, 2009).
Deskripsinya
kerusakan gigi merupakan masalah kesehatan umum, prevalensi kedua hanya untuk
flu biasa. Dari survei diperkirakan bahwa 90% orang memiliki setidaknya satu
rongga, dan bahwa 75% orang memiliki rongga pertama mereka pada usia lima
tahun. Meskipun setiap orang dapat memiliki masalah dengan kerusakan gigi,
anak-anak dan warga senior adalah dua kelompok berisiko tertinggi. Lain
kelompok berisiko tinggi termasuk orang yang makan banyak mengandung zat tepung
dan makanan manis, orang yang tinggal di daerah tanpa pasokan air fluoride, dan
orang yang sudah memiliki banyak restorasi gigi (Lynda, 2009).
2.2
Karies gigi
|
Tanda-tanda karies gigi merupakan suatu
keretakan pada email atau kavitas pada gigi, dentin di dalam kavitas lebih
lunak dari pada dentin di sekelilingnya, dan merupakan suatu daerah pada email
yang mempunyai warna yang berbeda dengan email sekelilingnya. Karies yang
berkembang cepat biasanya berwarna agak terang, sedangkan karies yang
berkembang lambat biasanya berwarna agak gelap. Akan tetapi pit (lekukan pada
email gigi) dan fisur (bentuk lekukan email gigi pada gigi molar dan pre molar)
kadang-kadang berwarna tua, bukan karena karies gigi, tetapi karena noda akibat
beberapa makanan. Karbohidrat yang tertinggal di dalam mulut dan
mikroorganisme, merupakan penyebab karies gigi, penyebab karies gigi yang tidak
langsung adalah permukaan dan bentuk gigi tersebut. Gigi dan fisur yang dalam mengakibatkan
sisa-sisa makanan mudah melekat dan bertahan, sehingga produksi asam oleh
bakteri akan berlangsung dengan cepat dan menimbulkan karies gigi (Hasibuan,
2011).
2.2.1 Peranan Flour
Penggunaan fluor
merupakan metode yang paling efektif untuk mencegah timbul dan berkembangnya
karies gigi. Penggunaan fluor ini perlu
di dukung oleh sikap perorangan yang positif terhadap kesehatan giginya. Fluor
selain mempunyai pengaruh pada gigi sebelum erupsi (pra erupsi) jika
mempengaruhi gigi sesudah erupsi (pasca erupsi). Proses bersenyawanya fluor
dengan gigi sebelum erupsi berbeda dengan proses sesudah erupsi,karena sesudah
erupsi proses ini dipengaruhi oleh maturasi
pasca erupsi dari enamel. Pengaruh terbesar fluor dalam masa pasca
erupsi gigi terjadi pada tahun-tahun pertama,
dan dalam tahun-tahun berikutnya pengaruh ini masih ada namun sudah
berkurang kekuatannya. Fluor juga menghambat kehidupan bakteri yang ada pada plak ( Lubis, 2001).
Struktur enamel
mempengaruhi kepekaan terhadap karies.
Sudah nyata bahwa bila fluoride diberikan secara topical pada gigi maka insiden
karies gigi akan berkurang. Penyelidikan yang lebih jauh lagi menunjukkan bahwa
enamel yang diberi
NaF2 lebih sukar dilarutkan oleh asam dibandingkan dengan
enamel biasa. Penyelidikan ini memeberikan kesimpulan penting bahwa diperlukan
setidak-tidaknya ada 1 ppm fluor ada di dalam air minum untuk mengurangi karies
( Lubis, 2001).
Cara penggunaan fluor dapat dibagi dengan
dua yaitu secara:
1.
Sistemik
Penggunaan
fluor secara sistemik yaitu untuk gigi yang belum erupsi. Dilakukan dengan
beberapa cara yaitu dengan :
1.
Fluoridasi air minum.
2.
Fluoridasi garam dapur.
3.
Fluoridasi air susu.
4.
Minum tablet/tablet
hisap fluor ( Lubis, 2001).
2.
Lokal
Penggunaan
fluor secara local yaitu untuk gigi yang sudah erupsi. Dilakukan dengan
beberapa cara yaitu dengan:
a.
Topikal aplikasi dengan
larutan fluor.
b.
Kumur-kumur dengan
larutan yang mengandung fluor.
c.
Menyiokat gigi dengan :
-
Pasta gigi
-
Larutan fluor
d.
Memoles gigi dengan
pasta propolaksis yang mengandung fluor ( Lubis, 2001).
2.2.2 Respon Imunologis terhadap Karies
Rongga
mulut merupakan pintu masuk utama mikroorganisme, oleh karena itu banyak faktor
yang terlibat dalam organisme pertahanan terhadap bakteri oportunis yang
apabila fungsi ini menurun makan bakteri oportunis tersebut dapat menjadi
patogen dan menimbulkan berbagai kelainan. Dalam hal ini termasuk bakteri
penyebab karies gigi. Perlindungan terhadap karies gigi ini melibatkan sistem
imunitas dan sejumlah faktor-faktor alamiah. Gigi dilindungi oleh suatu sistem
imun di dalam rongga mulut, dimana komponen-komponen yang dihasilkan oleh
kelenjar ludah merupakan hal yang sangat berperan di dalam sistem imun dalam
rongga mulut (Sinulingga, 2002).
Respon
imun didalam rongga mulut melewati tiga kompartemene cairan yang satu dengan
lainnya berhubungan yaitu air liur, cairan celah gusi, dan darah. Ketiga cairan tersebut bergabung membentuk
cairan mulut. Walaupun secara
kuantitatif cairan mulut terbanyak terdiri dari komponen air liur, secara
kualitatif cairan celah gusi mungkin berperan terhadap sejumlah faktor-faktor
imun yang penting. Pengaruh komponen
celah gusi pada respon imun cairan rongga mulut yang tidak jelas, tetapi hampir
semua polimorfonuklear leukosit (PMNL) dan sejumlah kecil IgG berasal dari
cairan celah gusi. Fungsi utama imunitas cairan rongga mulut meningkat oleh
komponen-komponen ini (Sinulingga, 2002).

Diagram
: Respon Imunologis terhadap Karies
Rongga
mulut bayi pada saat dilahirkan dalam keadaan steril, namun dalam waktu
beberapa menit akan terjadi kolonisasi kuman di dalam rongga mulutnya. Ibu
dapat merupakan sumber infeksi oleh kuman Streptokokus mutans, oleh karena
kontak yang dekat seperti ciuman pada bayi. Kolonisasi kuman-kuman ini akan
diikuti dengan produksi antibodi oleh bayi itu sendiri, dimana sebelumnya bayi
sudah mendapat Ig G dari ibunya melalui plasenta. Didalam saliva ditemukan sekretori
imunoglobulin A (slg A) yg mampu menghambat kolonisasi oral (Sinulingga, 2002).
Produksi antibdi slg A
saliva terhadap Streptokokus mutans dapat dibentuk oleh:
a. Antigen yang masuk secara langsung ke kelenjar saliva minor yang
berkembang
di bawah mukosa oral.
b. Secara tidak langsung menelan Streptokokus
dengan konsentrasi yang cukup dan merangsang jaringan limfosit pada usus untuk
membentuk respon imun. Selanjutnya antibodi serum terhadap kuman Streptokokus
mutans dengan jumlah yang tinggi pada slaiva maternal akan menyebabkan
dibentuknya antibodi yang adekuat. Hasil respon imun ini bekerja aktif dala
mencegah kolonisasi Streptokokus mutans selanjutnya pada gigi yang erupsi (Sinulingga, 2002).
2.2.2.1 Respon Imun Seluler dan Humoral
Dalam imunologi ada dua
sistem pertahanan, yaitu seluler dan humoral. Keduanya dapat bekerja sama dan
berhubungan dengan limfosit yang terdapat dalam darah dan organ-organ limfosit
seperti limfa dan kelenjar getah bening. Untuk proses pendewasaan, sel-sel
limfosit yang diperlukan untuk daya tahan seluler harus melewati kelenjar
timus, dimana terjadi kontak dengan sel-sel epitel dan kelenjar timus. Sel-sel
limfosit yang sudah dewasa ini kemudian disebut dengan sel T. Selain itu
terdapat pula sel B yang berasal dari organ yang mendewasakan sel-sel tersebut.
Bila terjadi kontak antara limfosit dewasa (sel B atau sel T) dengan antigen,
maka limfosit yang memiliki reseptor khusus untuk antigen tersebut akan
mengadakan proliferasi. Pada sistem pertahanan seluler terjadi penambahan dari
sel T, terutama subset CD4 yang dapat mengenal antigen-antigen yang
bersangkutan. Sedangkan pada sistem pertahanan humoral, selain ada penambahan
dari sel B, juga terjadi pembentukan dan pelepasan dari reseptor-reseptor
spesifik yang disebut imunoglobulin (Sinulingga, 2002).
Antibodi pada sel yang
diproduksi oleh sel B berasal dari slah satu dari lima kelas molekul protein
sesuai dengan fungsinya asing-masing, yaitu:
a.
Ig
G, imunoglobulin yang paling banyak terdapat pada ruang intra maupun ekstraseluler
dan dihubungkan dengan imunitas pasif dan imunitas jnagka panjang (long term
immunity)
b.
Ig
A lain, disebut sekretori Ig A (slg A) yang terdapat pada cairan glandula dan
banyak terdapat pada area mukosa, seperti saluran pernapasan dan saluran
perkemihan. Berfungsi untuk mencegah terkumpulnya antigen.
c.
Ig
M mengeliminasi antigen sebelum datang cukup banyak IgG dan merupakan
immunoglobin pertama yang dibentuk sebagai respon terhadap antigen baru
d.
Ig
E terdapat pada indivisu normal dengan konsentrasi yang snagat rendah tetapi
bersifat mengikat pada enderita alergi.
e.
Ig
D, fungsi utamanya adalah reseptor antigen atau dengan kata lain sebagai
pengenalan antigen oleh sel B (Sinulingga, 2002).
Apabila terjadi kontak baru
dengan antigen yang sama, maka akan dikenali oleh sel T yang spesifik ( sistem
pertahanan seluler) atau antibodi yang ada di dalam sirkulasi (sistem
pertahanan humoral). Di dalam rongga mulut, reaksi pertahanan tidak terjadi
pada enamel, karena enamel tidak mempunyai pembuluh darah (Sinulingga, 2002).
2.2.2.2 Komponen
Mediator sebagai Respon Imun pada Karies Gigi
Boedi Oetomo Roeslan
Menyatakan bahwa selama perkembangan karies gigi, antibodi ditemukan dalam
saliva, cairan pulpa gigi, dan cairan dentin. Hal ini menunjukkan bahwa saliva,
cairan pulpa gigi, dan cairan dentin dapat memberikan respon imunologik
terhadap serangan antigen kuman penyebab karies gigi (Sinulingga, 2002).
a. Saliva
Penelitian Dale B.Mitch et
al menunjukkan bahwa penambahan saliva pada suatu suspensi bakteri oral dapat
menyebabkan agregasi bakteri. Pada saliva setidaknya terdapat komponen sekresi
yang terikat pada molekul slg A, membuat antibosi slg A tahan terhadap enzim
proteolitik yang ada pada saliva. Antibosi slg A saliva bekerja dengan
menghambat proses perlekatan sucrose independent tage san sucrose dependent
stage S mutans pada permukaan gigi, sehingga tidak terjadi aktivitas metabolik.
Oleh kaena itu, slg A dianggap sangat efisien pada hampir semua subjek, seperti
permukaan gigi halus yang terpapar jarang terkena karies. Tetapi pada gigi
tertentu (fisur,proksimal, dan servikal) yang tidak dapat dijangkau oleh
komponen saliva, hubungan pertahanan tidak ditemukan antara titer antibodi dan
indeks karies (Sinulingga, 2002).
Mucin saliva dan
konstituennya melindungi permukaan mulut dan gigi melalui berbagai cara:
1. Glikoprotein saliva menutupi dan melumasi mukosa.
2. Enzim antibakteri lisosim pada saliva berfungsi untuk memecahkan
dinding sel bakteri dan berfungsi sebagai penakluk.
3. Antibodi pada saliva terutama terdiri dari Imunoglobulin (IgA). IgA
ini akan bereksi dengan antigen makanan untuk menetralkan efeknya, selain itu
IgA dapat mencegah perlekatan bakteri dan virus pada permukaan gigi dan mukosa
mulut.
4. enzim sialoperoksidase mempunyai aktivitas antibakteri, khususnya
terhadap laktobasili dan streptokokus.
5. Bikarbonat dan fosfat memberi efek buffer pada makanan dan asam
bakteri.
6. Komponen mineral, khususnya kalsium dan ion fosfor berfungsi
mempertahankan intregritas gigi dengan cara memodulasi difusi ion dan mencegah
hilangnya ion mineral dari jaringan gigi (Sinulingga, 2002).
Selain itu pada saliva
terdapat faktor-faktor alamiah non spesifik yang juga berperan dalam melindungi
gigi dari karies yaitu
1.
Protein
Kaya prolin
Protein
kaya prolin (PRP) berfungsi untuk mempertahankan konsentrasi Ca2+ di dalan
saliva tetap konstan, yang penting artinya dalam penghambatan demineralisasi
dan peningkatan remineralisasi. Selain itu PRP juga berperan untuk mencegah
terbentuknya karang gigi. Protein kaya prolin (Protein Rich Prolin / PRP)
terdiri dari 150-170 asam amino protein saliva. Protein ini memelihara saliva
agar tetap dalam kedaan jenuh terhadap kalsium fosfat dan terdapat juga pada
pelikel enamel. Hal ini menunjukkan bahwa PRP memiliki peranan penting dalam
proses mineralisasi pada permukaan gigi dan juga mempengaruhi perlekatan
bakteri sebelum terbentuknya plak (Sinulingga, 2002).
2.
Laktoferin
Laktoferin di dalam saliva
berjumlah kurang dari 1% dari protein ludah. Didala ludah yang dirangsang
konsentrasi laktoferin adalah sekitar 1 mg/100ml. Laktoferin merupakan
glikoprotein yang mengikat ion-ion spesifik Fe3+ di dalam cairan eksokrin. Efek
bakteriostatik maupun bakterimia laktoferin terhadap S.mutans bekerja sangat
baikpada konsentrasi 15 mg/100 mL. aktifitas bakterisid laktoferin langsung
menembus pada permukaan sel. Struktur sel bakteri terluar seperti membran
terluar dan kapsul memiliki suatu sistem perlindungan untuk mengatasi aktifitas
laktoferin (Sinulingga, 2002).
Efek antimikrobial
laktoferin dalam melindungi jaringan mulut bekerjasama dengan komponen
antimikrobial ludah lainnya seperti lisosim dan laktoperoksidase. Laktoferin
dapat bekerja lebih efektif dalam
kombinasi dengan lisosim bermuatan negatif pada permukaan sel bakteri. Karena
itu kemampuan sel-sel bakteri untuk mengambil
ion Fe3+ dapat di reduksi, sehingga laktoferin dalam konsentrasi rendah
sudah dapat mengambil ion Fe3+ yang cukup untuk dapat menghambat pertumbuhan
bakteri. Laktoferin dianggap penting untuk melindungi jaringan epitel dan
infeksi bakterial (Sinulingga, 2002).
3.
Laktoperoksidase
Didalam saliva terdapat dua
macam peroksidase, yang keduanya mempunyai efek bakteriostatik, namun kedua
jenis laktoperoksidase ini memiliki mekanisme yang berbeda. Keduanya sama-sama
menggunakan H2O2 sebagai substrat, namun berbeda dalam penggunaan ion-ion
sebagai ko-substrat yang diperlukan untuk aktifitas enzimatisnya yaitu: I dan SCN-
(tiosianat) serta halida (CL-, Br-, I-, SCN-). Kedua sistem peroksidase ini
menurut ko-substratnya dapat dilukiskan sebagai berikut :
a.
Sistem
laktoperoksidase-tiosianat-H2O2
b.
Sistem
mieloperoksidase-halida-H2O2
Laktoperoksidase menunjukkan beberapa efek biokimiawi :
a.
Mempunyai
efek aktifitas antibakterial, memperlambat pertumbuhan berbagai bakteri.
b.
Mengkatalisis
yodasi asam amino tirosin dalam berbagai protein.
c.
Mengkatalisis
pembentukan cross-link dalam beberapa protein (Sinulingga, 2002).
Pada Laktoperosidase
saliva, donor utamanya adalah tiosianat (SCN-), yang merupakan senyawa halida
dengan konsentrasi kira-kira 1-2 mM di dalam saliva. Dalah hal ini ion tiosanat
akan menjadi hipotiosanat (OSCN-), yang mampu mengoksidasi thiols yang
memberikan pengaruh bakterisid pada sistem laktoperoksidase-H2O2-SCN- (Sinulingga, 2002).
Hipotiosianat (OSCN-) dalam
konsentrasinya yang cukup dapat menghambat metabolisme karbohidrat oleh
streptokokus mutans. Proses penghambatan yang sempurna terjadi karena hidrogen
peroksida yang dikeluarkan oleh bakteri mengoksidasi tiosianat (SCN-) dikatalisis
oleh laktoperoksidase saliva, menghasilkan OSCN-. Hasil oksidasi ini menghambat
metabolisme bakteri dengna membloking transport gula dan melalui enzim
glikolisis inaktif. Penghambatan ini akan mengurangi jumlah asam yang
dihasilkan bakteri, dimana keberadaan asam ini akan mengakibatkan
demineralisasi permukaan enamel (Sinulingga, 2002).
4.
Lisozim
Lisozim adalah enzim yang
menunukkan aktivitas bakteriosid dengan memecah ikatan antara asam N-asetil glukosamin
dan N-asetil muramik dalam komponen mukopeptida dinding sel bakteria. Enzim ini
berasal dari glandula submandibularis, sublingualis, dan parotis di mulut. Di
dalam kelenjar ludah lisozim berlokasi di dalam sel-sel duktus interkalata yang
membentuk hubungan antara suatu asinus dengan saluran pembuangan (Sinulingga, 2002).
Lisozim dapat
menghidrolisis komponen-komponen dinding sel bakteri tertentu yang
mengakibatkan lisisnya sel bakteri tersebut. Dinding sel bakteri dibentuk oleh
heteropolisakarida murein yang dibangun dari dua gula yaitu: asam muramin dan
glukosamin, yang bersama-sama dengan peptida dinding sel membentuk ikatan
peptidoglikan. Dengan adanya lisozim
ikatan tersebut dapat diputus sehingga mengakibatkan terjadinya pori-pori kecil
di dalam dinding sel. Efek utama lisozim pada bakteri terdiri atas interaksi
awal yang cepat dengan dinding sel mikrobial, yang menyebabkan pembocoran
cairan sel. Hal ini dapat menyebabkan matinya sel karena keluarnya ion-ion yang
diperlukan bakteri untuk hidup. Terutama bakteri Streptokokus mutans (Sinulingga, 2002).
5.
Faktor
aglutinasi dan Agregasi Bakteri
Inkubasi pada berbagai
macam bakteri oral dengan ludah mengakibatkan penggumpalan bakteri. Jika hal
ini terjadi karena imunoglobin di dalam ludah maka proses ini disebut
aglutinasi, sedangkan dalam keadaan lainnya penggumpalan dinyatakan dengan
agregasi/penggumpalan. Kedua gejala ini disebabkan oleh interaksi komponen
ludah yang mencair dengan dinding sell bakteri. Pada sisi lain komponen ludah
yang melekat pada permukaan mulut, misalnya elemen gigi geligi dan mukosa, yang
juga berperan sebagai reseptor pengikatan bakteri, hal ini disebut adherensi/
perlekatan (Sinulingga, 2002).
Penggumpalan bakteri
mempersukar pengikatannya pada permukaan dan dengan demikian membatasi
kolonisasinya di dalam rongga mulut. Dengan adanya aglutinasi dan agregasi
mengakibatkan jumlah bakteri di dalam rongga mulut menurun. Agregat yang
terbentuk selanjutnya melalui cara mekanis dapat diangkut ke lambung dan disana
dibuat inaktif dalam lingkungan yang sangat asam. Sedangkan proses perlekatan
spesifik bakteri pada komponen ludah yang diadsorpsi pada permukaan gigi dan
mukosa, menyebabkan terjadinya kolonisasi mikroorganisme di dalam rongga mulut.
Komponen ludah yang diabsorpsi ini berguna sebagai reseptor untuk mengikat
bakteri pada permukaan mulut (Sinulingga, 2002).
b. Cairan pulpa gigi
Pulpa gigi banyak memiliki
kemiripan dengan jaringan ikat lain pada tubuh manusia, namun ia memiliki
karakteristik yang unik. Di dalam pulpa terdapat berbagai elemen jaringan
seperti pembuluh darah, persyarafan, serabut jaringan ikat, cairan interstitial,
dan sel-sel seperti fibroblast, odontoblast dan sel imun dimana terdapat
sel-sel pertahanan seperti makrofag, sel dendritik dan limfosit (Sinulingga, 2002).
Pada dentin yang sehat di
bawah zona translusen dentin yang terserang karies, dapat ditemukan adanya
antibodi. Hal ini menunjukkan bahwa pulpa gigi sudah meberikan respon
imunologik. Disamping itu di bawah lesi
karies tidak ditemukan adanya mikroorganisme, mengindikasikan adanya respon
imun yang kuat dihasilkan sebagai refleksi pertahanan terhadap invasi bakteri
penyebab karies gigi (Sinulingga, 2002).
c. Cairan
celah dentin
Imunoglobulin ditemukan di
dalam dentin yang sehat dan dentin yang mengalami karies. Komponen sekresi,
baik yang terikat pada ig A dalam bentuk slg A, hanya ditemukan pada lesi yang
dangkal. Selain itu ditemukan ig G, Ig A dan transferin di dalam karies yang
dalam, sedangkan komponen sekresi tidak ada. Di bawah lesi karies juga tidak
ditemukan adanya kuman (Sinulingga, 2002).
Saat karies gigi sudah
mengenai dentin, antigen bakteri yang larut akan menginduksi respon peradngan
pada pulpa gigi berupa vasodilator, peningkatan permeabilitas kapiler dan
eksudasi cairan serta polomorfonuklear (PMN). Saat karies mendekati pulpa,
ditemukan adanya makrofag, lomfosit, dan sel plasma. Selain itu, terdapat juga
iminoglobulin ekstravaskuler berupa Ig G yang paling banyak, disertai sel
plasma yang mengandung Ig G,Ig A, Ig E dan kadang kadang Ig M (Sinulingga, 2002).
2.3
Faktor penyebab karies
2.3.1 Faktor langsung
a.
Faktor Host (Tuan Rumah)
Ada beberapa hal yang
dihubungkan dengan gigi sebagai tuan rumah terhadap karies gigi (ukuran dan
bentuk gigi), struktur enamel (email), faktor kimia dan kristalografis, saliva.
Kawasan-kawasan yang mudah diserang karies adalah pit dan fisure pada permukaan
oklusal dan premolar. Permukaan gigi yang kasar juga dapat menyebabkan plak
yang mudah melekat dan membantu perkembangan karies gigi. Kepadatan kristal
enamel sangat menentukan kelarutan enamel. Semakin banyak enamel mengandung mineral
maka kristal enamel semakin padat dan enamel akan semakin resisten. Gigi susu
lebih mudah terserang karies dari pada gigi tetap, hal ini dikarenakan gigi
susu lebih banyak mengandung bahan organik dan air dari pada mineral, dan
secara kristalografis mineral dari gigi tetap lebih padat bila dibandingkan
dengan gigi susu. Alasan mengapa susunan kristal dan mineralisasi gigi susu
kurang adalah pembentukan maupun mineralisasi gigi susu terjadi dalam kurun
waktu 1 tahun sedangkan pembentukan dan mineralisasi gigi tetap 7-8 tahun.
Saliva mampu meremineralisasikan karies yang masih dini karena banyak sekali
mengandung ion kalsium dan fosfat. Kemampuan saliva dalam melakukan
remineralisasi meningkat jika ada ion fluor. Selain mempengaruhi komposisi
mikroorganisme di dalam plak, saliva juga mempengaruhi pH (Rasinta, 1990)
b.
Faktor Agent
(Mikroorganisme)
Plak gigi memegang peranan
penting dalam menyebabkan terjadinya karies. Plak adalah suatu lapisan lunak
yang terdiri atas kumpulan mikroorganisme yang berkembang biak di atas suatu
matriks yang terbentuk dan melekat erat pada permukaan gigi yang tidak dibersihkan.
Komposisi mikroorganisme dalam
plak berbeda-beda, pada awal pembentukan plak, kokus gram positif merupakan
jenis yang paling banyak dijumpai seperti Streptococcus
mutans, Streptococcus sanguis, Streptococcus mitis, Streptococcus salivarus,
serta beberapa strain lainnya, selain itu dijumpai juga Lactobacillus dan beberapa beberapa spesies Actinomyces. Plak bakteri ini dapat setebal beratus-ratus bakteri
sehingga tampak sebagai lapisan putih. Secara histometris plak terdiri dari 70%
sel-sel bakteri dan 30% materi interseluler yang pada pokoknya berasal dari
bakteri (Rasinta, 1990)
c.
Pengaruh Substrat atau
Diet
Faktor subtrat atau diet dapat
mempengaruhi pembentukan plak karena membantu perkembangbiakan dan kolonisasi
mikroorganisme yang ada pada permukaan enamel. Selain itu, dapat mempengaruhi
metabolisme bakteri dalam plak dengan menyediakan bahan-bahan yang diperlukan
untuk memproduksi asam serta bahan lain yang aktif yang menyababkan timbulnya
karies.
Dibutuhkan waktu minimum
tertentu bagi plak dan karbohidrat yang menempel pada gigi untuk membentuk asam
dan mampu mengakibatkan demineralisasi email. Karbohidrat ini menyediakan
substrat untuk pembuatan asam bagi bakteri dan sintesa polisakarida ekstra sel.
Orang yang banyak mengkonsumsi
karbohidrat terutama sukrosa cenderung mengalami kerusakan gigi, sebaliknya
pada orang dengan diet banyak mengandung lemak dan protein hanya sedikit atau
sama sekali tidak memliki karies gigi. Hal ini dikarenakan adanya pembentukan
ekstraseluler matriks (dekstran) yang dihasilkan karbohidrat dari pemecahan
sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Glukosa ini dengan bantuan Streptococcus mutans membentuk dekstran
yang merupakan matriks yang melekatkan bakteri pada enamel gigi. Oleh karena
itu sukrosa merupakan gula yang paling kariogenik (makanan yang dapat memicu
timbulnya kerusakan/karies gigi atau makanan yang kaya akan gula). Sukrosa
merupakan gula yang paling banyak dikonsumsi, maka sukrosa merupakan penyebab
karies yang utama.
Makanan dan minuman yang
mengandung gula akan menurunkan pH plak dengan cepat sampai pada level yang
dapat menyebabkan demineralisasi email. Plak akan tetap bersifat asam selama
beberapa waktu. Untuk kembali ke pH normal sekitar 7, dibutuhkan waktu 30-60
menit. Oleh karena itu, konsumsi gula yang sering dan berulang-ulang akan tetap
menahan pH plak di bawah normal dan menyebabkan demineralisasiemail (Rasinta, 1990).
d.
Faktor Waktu
Secara umum, karies dianggap
sebagai penyakit kronis pada manusia yang berkembang dalam waktu beberapa bulan
atau tahun.4 Adanya kemampuan saliva untuk mendepositkan kembali mineral selama
berlangsungnya proses karies, menandakan bahwa proses karies tersebut terdiri
atas perusakan dan perbaikan yang silih berganti. Adanya saliva di dalam
lingkungan gigi mengakibatkan karies tidak menghancurkan gigi dalam hitungan
hari atau minggu, melainkan dalam bulan atau tahun. Lamanya waktu yang
dibutuhkan karies untuk berkembang menjadi suatu kavitas cukup bervariasi,
diperkirakan 6-48 bulan. Dengan demikian sebenarnya terdapat kesempatan yang
baik untuk menghentikan penyakit ini (Rasinta, 1990)
e.
Kebiasaan Makan
Pada zaman modern ini, banyak
kita jumpai jenis-jenis makanan yang bersifat manis, lunak dan mudah melekat
misalnya permen, coklat, bolu, biscuit dan lain-lain. Di mana biasanya makanan
ini sangat disukai oleh anak-anak. Makanan ini karena sifatnya yang lunak maka
tidak perlu pengunyahan sehingga gampang melekat pada gigi dan bila tidak
segera dibersihkan maka akan terjadi proses kimia bersama dengan bakteri dan
air ludah yang dapat merusak email gigi (Rasinta, 1990)
Faktor-faktor yang
mempengaruhi kebiasaan makan pada dasarnya adalah:
1. Faktor ekstrinsik (yang berasal dari luar manusia) seperti
lingkungan alam, lingkungan sosial,
lingkungan budaya serta lingkungan ekonomi.
2. Faktor intrinsik (yang berasal dari dalam diri manusia),
seperti: asosiasi emosional, keadaan jasmani dan kejiwaan yang sedang sakit
serta penilaian yang lebih terhadap mutu makanan juga merupakan faktor
intrinsik.
Penelitian Nizel (1981) pada
anak umur 6 tahun di Inggris yang dikutip oleh Kosasih (2007) menguraikan bahwa
makanan yang berbentuk lunak dan lengket dapat berpengaruh terhadap terjadinya
penyakit karies gigi. Beliau juga menguraikan tentang adanya hubungan antara
zat gizi seperti vitamin dan mineral, protein hewani dan nabati, serta
karbohidrat yang terkandung dalam makanan sehari-hari dapat mempengaruhi
terjadinya penyakit karies gigi. Hal ini yang perlu mendapat perhatian tidak
hanya nutrisi saja, tetapi cara mengonsumsi jenis makanan dan waktu pemberian,
karena semua ini akan mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut. Sukrosa adalah salah satu jenis
karbohidrat yang terkandung dalam makanan lainnya yang merupakan substrat untuk
pertumbuhan bakteri yang pada akhirnya akan meningkatkan proses terjadinya
karies gigi (Rasinta, 1990)
2.3.2 Faktor tidak langsung
Selain
faktor langsung (etiologi), juga terdapat faktor-faktor tidak langsung yang
disebut sebagai faktor resiko luar, yang merupakan faktor predisposisis dan
faktor penghambat terjadinya karies yaitu umur, jenis kelamin, sosial ekonomi,
penggunaan fluor, jumlah bakteri, dan perilaku yang berhubungan dengan
kesehatan gigi. Perilaku yang dapat mempengaruhi kesehatan mulut khususnya
karies tidak terlepas dari kebiasaan merokok/penggunaan tembakau, konsumsi
alkohol, kebersihan rongga mulut yang tidak baikdan diet makanan (Rasinta, 1990)
a. Umur
Hasil studi menunjukkan bahwa
lesi karies dimulai lebih sering pada umur yang spesifik. Hal ini berlaku
terutama sekali pada umur anak-anak namun juga pada orang dewasa. Kelompok umur
berisiko tersebut adalah:
1. Umur 1-2 tahun
Studi oleh Kohler et all (1978,1982), bahwa pada ibu-ibu dengan saliva yang
mengandung banyak Streptococcus mutans sering menularkannya kepada bayi mereka
segera setelah gigi susunya tumbuh, hal ini menyebabkan tingginya kerentanan
terhadap karies.
2. Umur 5-7 tahun
Studi oleh Carvalho et all (1989) menunjukkan bahwa pada masa ini permukaan oklusal
(kunyah) gigi molar pertama sedang berkembang, pada masa ini gigi rentan karies
sampai maturasi kedua (pematangan jaringan gigi) selesai selama 2 tahun.
3. Umur 11-14 tahun
Merupakan usia pertama kali dengan gigi permanen
keseluruhan. Pada masa ini gigi molar kedua rentan terhadap karies sampai
maturasi kedua selesai.
4. Umur 19-22 tahun
Adalah kelompok umur berisiko pada usia remaja.
Pada masa ini gigi molar ke tiga rentan karies sampai maturasi keduanya selesai.
Di usia ini pula biasanya orang-orang meninggalkan rumah untuk belajar atau
bekerja di tempat lain, yang selanjutnya dapat menyebabkan perubahan tidak
hanya gaya hidup tapi juga pada kebiasaan makan dan menjaga kebersihan mulut (Rasinta, 1990).
b. Jenis Kelamin
Dari pengamatan yang dilakukan
Milhann-Turkeheim pada gigi M1, didapat hasil bahwa persentase karies gigi pada
wanita adalah lebih tinggi dibanding pria. Selama masa kanak-kanak dan remaja,
wanita menunjukkan nilai DMF yang lebih tinggi dari pada pria. Walaupun
demikian, umumnya oral higiene wanita lebih baik sehingga komponen gigi yang
hilang (M=Missing) lebih sedikit (Rasinta,
1990).
c. Sosial Ekonomi
Karies dijumpai lebih rendah
pada kelompok sosial ekonomi rendah dan sebaliknya. Hal ini dikaitkan dengan
lebih besarnya minat hidup sehat pada kelompok sosial ekonomi tinggi.
Menurut Tirthankar (2002), ada
dua faktor sosial ekonomi yaitu pekerjaan dan pendidikan. Pendidikan adalah
faktor kedua terbesar yang mempengaruhi status kesehatan. Seseorang yang
mempunyai tingkat pendidikan tinggi akan memiliki pengetahuan dan sikap yang
baik tentang kesehatan sehingga akan mempengaruhi perilakunya untuk hidup
sehat. Dalam penelitiannya, Paulander, Axelsson dan Lindhe (2003) melaporkan
jumlah gigi yang tinggal di rongga mulut pada usia 35 tahun sebesar 26,6% pada
pendidikan tinggi sedangkan pada pendidikan rendah sebesar 25,8%. Hasil
penelitian Sondang Pintauli dkk, dijumpai DMF-T rata-rata sebesar 7,63 dengan
DMF-T rata-rata lebih rendah pada ibu-ibu rumah tangga dengan tingkat
pendidikan tinggi bila dibandingkan dengan tingkat pendidikan menengah dan
tingkat pendidikan rendah (Rasinta,
1990).
d. Penggunaan Fluor
Menurut Rugg-Gunn (2000) di
Inggris menyatakan bahwa penggunaan fluor sangat efektif untuk menurunkan prevalensi
karies, walaupun penggunaan fluor tidaklah merupakan satusatunya cara mencegah
gigi berlubang. Demikian halnya penelitian yang dilakukan Dr. Trendly Dean
dilaporkan bahwa ada hubungan timbal balik antara konsentrasi fluor dalam air
minum dengan prevalensi karies. Penelitian epidemiologi Dean ditandai dengan
perlindungan terhadap karies secara optimum dan terjadinya mottled enamel (keadaan email yang berbintik-bintik putih, kuning,
atau coklat akibat kelebihan fluor/fluorosis) yang minimal apabila konsentrasi
fluor kurang dari 1 ppm (Rasinta,
1990).
e. Pola Makan
Setiap kali seseorang
mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung karbohidrat, maka beberapa
bakteri penyebab karies di rongga mulut akan mulai memproduksi asam sehingga pH
saliva menurun dan terjadi demineralisasi yang berlangsung selama 20-30 menit
setelah makan. Di antara periode makan, saliva akan bekerja menetralisir asam
dan membantu proses remineralisasi. Namun, apabila makanan berkarbonat terlalu
sering dikonsumsi, maka email gigi tidak akan mempunyai kesempatan untuk
melakukan remineralisasi dengan sempurna sehingga terjadi karies. Misalnya,
derajat penderita karies gigi di Palembang relatif tinggi. Salah satu
penyebabnya adalah makanan yang berpotensi menimbulkan kerusakan gigi, yaitu
empekempek. Empek-empek terbuat dari sagu, sehingga mengandung karbohidrat dan
zat gula. Karbohidrat yang tinggi akan membuat karang gigi menjadi tebal.
Kandungan cuka dalam cairan yang ditambahkan pada empek-empek juga tidak bagus
untuk gigi, khususnya juga untuk anak di bawah usia delapan tahun. Kandungan
fluor dalam gigi anak usia di bawah delapan tahun belum kuat menahan cuka (Rasinta, 1990).
f. Kebersihan Mulut (Oral Higiene)
Sebagaimana diketahui bahwa
salah satu komponen dalam pembentukan karies adalah plak. Telah dicoba
membandingkan insidens karies gigi selama 2 tahun pada 429 orang mahasiswa yang
menyikat giginya dengan teratur setiap habis makan dengan mahasiswa yng
menyikat giginya pada waktu bangun tidur dan malam pada waktu sebelum tidur,
ternyata bahwa golongan mahasiswa yang menyikat giginya secara teratur
rata-rata 41% lebih sedikit kariesnya dibandingkan dengan golongan lainnya (Rasinta, 1990).
g. Merokok
Nicotine
yang dihasilkan oleh tembakau dalam rokok dapat menekan
aliran saliva, yang menyebabkan aktivitas karies meningkat. Dalam hal ini
karies ditemukan lebih tinggi pada perokok dibandingkan dengan bukan perokok (Rasinta, 1990).
2.3.3 Baby Bottle Caries
(Rampant Karies)
Menurut Winter (1996), rampant karies adalah sebuah
lesi yang onsetnya akut yang meliputi sebagian besar atau semua bagian dari
gigi yang telah erupsi, secara cepat menghancurkan jaringan koronal, sering
pada bagian yang normalnya kebal terhadap karies dan mengarah kepada
keterlibatan dari pulpa gigi sedari dini

Gambar
1 Baby Bottle Caries
Sumber
: Sihotang, 2010
Menurut Tinanoff (1983) mendefinisikan rampant caries sebagai karies yang
terdapat pada orang hidup yang memiliki 5 atau lebih permukaan gigi yang karies
selama setahun. Menurut Masseler (1945), rampant karies merupakan “keadaan
karies yang muncul secara tiba-tiba, menyebar dengan cepat dan terdapat
keterlibatan awal dari pulpa, dan mengenai gigi-gigi yang biasanya kebal
terhadap karies yang biasa (Sihotang, 2010).
2.3.3.1 Keadaan Klinis
Bentukan
dari rampant karies pada gigi sulung biasanya berhubungan dengan urutan dari
erupsi gigi, dengan pengecualian pada insisiv sulung mandibula. Pada insisiv
mandibula kemungkinan lebih resistan terhadap karies karena jaraknya yang dekat
dari tempat sekresi kelenjar mandibula juga karena proses pembersihan dari
lidah selama proses menghisap susu botol.
Lesi awal biasanya muncul pada permukaan labial dari
insisiv maksila dekat dengan margin gingiva, terlihat sebagai area keputihan
dari dekalsifikasi atau pitting dari permukaan enamel segera setelah erupsi.
Lesi ini dengan cepat terpigmentasi menjadi warna kuning dan pada waktu yang
bersamaan menyebar ke arah permukaan proximal dan juga kearah sisi insisal dari
gigi. Pada kasus yang jarang dekalsifikasi muncul pada permulaan di permukaan
palatal atau pada insisal edge pada kasus yang extreme. Pada kasus yang lebih
parah, proses karies akan menyebar pada lingkar gigi, yang nantinya mengarah
pada fraktur patologis dari mahkota pada trauma yang kecil.
Gigi yang lain, seperti molar 1 sulung, molar 2 sulung
dan bahkan kaninus akan terkena secara bertahap. Nursing bottle caries, juga
dikenal dengan nama seperti bottle caries, baby bottle syndrome, baby bottle
decay merupakan bentukan dari rampant karies pada gigi sulung dari bayi atau
anak-anak(2, 3, dan 4 tahun). Pada kebanyakan kasus, masalahnya biasanya
ditemui pada bayi yang sering tertidur dengan botol bayi yang berisi susu atau
air gula. Kondisi seperti ini juga bisa ditemui pada bayi yang meminum ASI yang
memiliki kebiasaan minum ASI yang terlalu lama atau pada bayi yang menggunakan
dot yang dicelupkan ke madu, gula, atau syrup.
Penurunan flow rate saliva selama tidur juga mengumpulkan
larutan manis disekitar gigi, juga berakibat pada lingkungan kariogenik yang
tinggi. Rampant karies juga bisa muncul pada gigi permanen pada usia remaja,
karena seringnya mereka mengkonsumsi snack-snack yang bersifat kariogenik juga
minuman yang manis diantara waktu makan. Rampant karies pada orang dewasa
ditandai dengan karies pada bukal dan lingual dari premolar dan molar dan juga
proximal dan labial karies di insisiv Rahang bawah. Bentukan spesifik dari
rampant karies bisa muncul pada anak-anak dan orang dewasa yang memiliki aliran
saliva yang menurun drastis sebagai hasil dari radioterapi untuk perawatan
kanker bagian kepala dan leher setelah pembedahan neoplasma pada rongga mulut
(Lubis, 2001).
2.3.3.2 Perawatan
Rampant karies
Tipe
perawatan dari pasien yang terserang rampant karies sangat tergantung dari
motivasi pasien dan orang tua terhadap perawatan gigi, luas dari karies, umur,
dan kekooperatifan anak. Faktor-faktor ini harus diperhitungkan pada kunjungan
awal anak ke dokter gigi. Perawatan awal mencakup :
a.
Perawatan sementara
Stabilisasi karies dan
tumpatan sementara harus di tempatkan pada gigi yang bebas gejala dengan karies
dentin yang terjaga untuk meminimalisasi resiko terpaparnya pulpa di masa depan
dan untuk meningkatkan fungsi dari gigi. Pulpotomy formacresol bisa dilakukan
jika pulpa masih dalam keadaan vital, tapi indikasi pulpektomy yang diikuti
oleh obturasi dengan zinc oxide eugenol cement, dilakukan bila pulpa nonvital (Sihotang,
2010)
b.
Program diet
Orang tua harus diberikan pengetahuan untuk mengurangi
frekuensi konsumsi sukrose oleh anak-anak mereka, terutama diantara waktu
makan. Konsumsi makanan dan hidangan yang mengandung gula harus dibatasi saat
makan. Orang tua bisa di instruksikan untuk merekam jumlah dan kuantitas dari
makanan dan hidangan yang dikonsumsi selama dan diantara waktu makan untuk 3
hari berurutan. Suplemen vitamin makanan dan juga medikasi oral harus
dimasukkan. Keberhasilan management dari rampant karies mengharuskan modifikasi
pola makan yang berat (Sihotang, 2010).
c.
Instruksi oral Hygiene
Banyak anal-anak berumur 3 sampai 5 tahun tidak bisa
menyikat gigi secara benar ketika tidak diajari dan di awasi. Kebanyakan anak
berumur 5 tahun menghabiskan kurang dari 60 second untuk menyikat gigi dan
lebih dari 80% dari waktu menyikat diletakkan pada tempat yang jarang karies –
regio anterior mandibular yang peka. Karena dari itu, sangatlah penting untuk
mengajari anak-anak teknik yang benar dalam menyikat gigi pada kelompok umur
yang berbeda. Pada umumnya, anak yang berusia dibawah 8 tahun bisa menguasai
teknik circular scrub dengan baik, dibawah pengawasan orang tua. Setelah 11
sampai 12 tahun, teknik menyikat sulkular seperti teknik Bass bisa diajarkan
(Sihotang, 2010).
d.
Perawatan di rumah dan penggunaan Fluor oleh
dokter gigi
Baik perawatan fluor sistemik maupun topikal sangat
berguna dalam mencegah karies gigi. Pilihannya didasarkan pada level dari
fluoride yang terkandung dalam air minum dan tahap perkembangan dari gigi
geligi. Level fluor dalam air minum pada beberapa variasi umur :
Tabel 1: level
fluor dalam air minum pada beberapa variasi umur (Sihotang, 2010).
Age
group
|
<
0,3
|
0,3
0,7
|
0,7
|
0-2
|
0,25
|
0,00
|
0,00
|
2-3
|
0,50
|
0,25
|
0,00
|
3-16
|
1,00
|
0,50
|
0,00
|
Anak-anak
yang masih terdapat gigi sulung akan sangat baik bila menggunakan tablet fluor
dan pasta gigi berfluoride dalam jumlah kecil. Anak-anak harus diberikan
dorongan untuk mengunyah tablet ini, pada saat sebelum tidur. Terapi topical
fluoride yang periodik dengan gel acidulated phosfate fluoride (APF) atau
varnish fluoride sangat bermanfaat pada anak-anak dengan rampant karies untuk
mencegah kehancuran gigi (Sihotang, 2010).
2.4 Proses terjadinya karies
Penyebab utama karies adalah adanya proses demineralisasi
pada email. Seperti kita ketahui bahwa email adalah bagian terkeras dari gigi,
bahkan paling keras dan padat di seluruh tubuh. Sisa makanan yang bergula
(termasuk karbohidrat) atau susu yang menempel pada permukaan email akan
bertumpuk menjadi plak, dan menjadi media pertumbuhan yang baik bagi bakteri.
Bakteri yang menempel pada permukaan bergula tersebut akan menghasilkan asam
dan melarutkan permukaan email sehingga terjadi proses demineralisasi.
Demineralisasi tersebut mengakibatkan proses awal karies pada email. Bila
proses ini sudah terjadi maka terjadi progresivitas yang tidak bisa berhenti
sendiri, kecuali dilakukan pembuangan jaringan karies dan dilakukan penumpatan
(penambalan) pada permukaan gigi yang terkena karies oleh dokter gigi (Joyston,
2002).
a) Tahap-tahap terjadinya karies:
1.
Gigi yang sehat
Email adalah lapisan
luar yang keras seperti kristal luar. Dentin adalah lapisan yang lebih lembut
di bawah email. Kamar pulpa berisi nerves dan pembuluh darah. Merupakan bagian
hidup dari gigi.
2.
Lesi putih
Bakteri yang tertarik
kepada gula dan karbohidrat akan membentuk asam. Asam akan menyerang crystal
apatit proses ini dikenal dengan proses demineralisasi. Tanda yang pertama ini
ditandai dengan adanya suatu noda putih atau lesi putih. Pada tahap ini, proses
terjadinya karies dapat dikembalikan.
3.
Karies email
Proses demineralisasi
berlanjut email mulai pecah. Sekali ketika permukaan email rusak, gigi tidak
bisa lagi memperbaiki dirinya sendiri. Kavitas harus dibersihkan dan
direstorasi oleh dokter gigi.
4.
Karies Dentin
Karies sudah mencapai ke
dalam dentin, dimana karies ini dapat menyebar dan mengikis email.
5.
Karies Mencapai Pulpa
Jika karies dibiarkan
tidak dirawat, akan mencapai pulpa gigi. Disinilah dimana saraf gigi dan
pembuluh darah dapat ditemukan. Pulpa akan terinfeksi. Abses atau fistula
(jalan dari nanah) dapat terbentuk dalam jaringan ikat yang halus (Joyston,
2002).
b) Tanda dan gejala
Dental
explorer adalah salah satu alat
diagnostik karies. Seseorang sering tidak menyadari bahwa ia menderita karies
sampai penyakit berkembang lama. Tanda awal dari lesi karies adalah sebuah daerah yang tampak berkapur di
permukaan gigi yang menandakan adanya demineralisasi. Daerah ini dapat menjadi
tampak coklat dan membentuk lubang. Proses sebelum ini dapat kembali ke asal
(reversibel), namun ketika lubang sudah terbentuk maka struktur yang rusak
tidak dapat diregenerasi. Sebuah lesi tampak coklat dan mengkilat dapat
menandakan karies. Daerah coklat pucat menandakan adanya karies yang aktif
(Joyston, 2002).
Bila enamel dan dentin sudah mulai rusak, lubang
semakin tampak. Daerah yang terkena akan berubah warna dan menjadi lunak ketika
disentuh. Karies kemudian menjalar ke saraf gigi, terbuka, dan akan terasa nyeri. Nyeri dapat
bertambah hebat dengan panas, suhu yang dindin, dan makanan atau minuman yang
manis. Karies gigi dapat menyebabkan nafas tak sedap dan pengecapan yang buruk.
Dalam kasus yang lebih lanjut, infeksi dapat menyebar dari gigi ke jaringan
lainnya sehingga menjadi berbahaya (Joyston, 2002).
c) Diagnosis
Diagnosis pertama memerlukan inspeksi atau pengamatan pada
semua permukaan gigi dengan bantuan pencahayaan yang cukup, kaca gigi, dan eksplorer. Radiografi gigi dapat membantu
diagnosis, terutama pada kasus karies interproksimal. Karies yang besar dapat
langsung diamati dengan mata telanjang. Karies yang tidak ekstensif dulu
dibantu dengan menemukan daerah lunak pada gigi dengan eksplorer (Joyston, 2002).
Beberapa
peneliti gigi telah memperingatkan agar tidak menggunakan eksplorer untuk
menemukan karies. Pada kasus dimana sebuah daerah kecil pada gigi telah mulai
untuk demineralisasi namun belum membentuk lubang, tekanan pada eksplorer dapat
merusak dan membuat lubang.
Teknik
yang umum digunakan untuk mendiagnosis karies awal yang belum berlubang adalah
dengan tiupan udara melalui permukaan yang disangka, untuk membuang embun, dan
mengganti peralatan optis/ Hal ini akan membentuk sebuah efek "halo"
dengan mata biasa. Transiluminasi serat optik direkomendasikan untuk
mendiagnosis karies kecil (Joyston, 2002).
2.5 Klasifikasi Karies

Gambar
1. Anatomi Gigi Sehat dan Gigi Karies
Sumber : Iyod. (1997)
a.
Berdasarkan Stadium Karies (dalamnya karies)
1.
Karies Superfisialis.
Di
mana karies baru mengenai enamel saja, sedang dentin belum terkena (Iyod,
1997).

Gambar
2. Karies Superfisialis
Sumber
: Iyod. (1997)
2. Media.
Di
mana karies sudah mengenai dentin, tetapi belum melebihi setengah dentin (Iyod,
1997).

Gambar
3. Karies Media
Sumber : Iyod. (1997)
3.
Karies Profunda.
Di
mana karies sudah mengenai lebih dari setengah dentin dan kadang-kadang sudah
mengenai pulpa(Iyod, 1997).

Gambar
4. Karies Profunda
Sumber : Iyod. (1997)
b. Berdasarkan Keparahan atau Kecepatan
Berkembangnya
1.
Karies Ringan
Kasusnya disebut ringan
jika serangan karies hanya pada gigi yang paling rentan seperti pit (depresi
yang kecil, besarnya seujung jarung yang terdapat pada permukaan oklusal dari
gigi molar) dan fisure (suatu celah yang dalam dan memanjang pada permukaan
gigi) sedangkan kedalaman kariesnya hanya mengenai lapisan email(iritasi pulpa)
2. Karies Sedang
Kasusnya dikatakan
sedang jika serangan karies meliputi permukaan oklusal dan aproksimal gigi
posterior. Kedalaman karies sudah mengenai lapisan dentin (hiperemi pulpa)
3. Karies Berat/Parah
Kasusnya dikatakan berat
jika serangan juga meliputi gigi anterior yang biasanya bebas karies. Kedalaman
karies sudah mengenai pulpa, baik pulpa tertutup maupun pulpa terbuka (pulpitis
dan gangren pulpa). Karies pada gigi anterior dan posterior sudah meluas ke
bagian pulpa (Hasibuan, 2011).
Menurut
Parkin dalam G.V. Black bahwa klasifikasi karies gigi dapat dibagi atas 5,
yaitu:
a. Kelas
I adalah karies yang mengenai permukaan oklusal gigi posterior.
b.
Kelas II adalah karies gigi yang sudah mengenai permukaan oklusal dan bagian
aproksimal gigi posterior.
c. Kelas
III adalah karies yang mengenai bagian aproksimal gigi anterior.
d. Kelas
IV adalah karies yang sudah mengenai bagian aproksimal dan meluas ke bagian
insisal
gigi anterior (Iyod, 1997).
2.6 Pencegahan
dan perawatan Karies
2.6.1 Pencegahan Primordial
Tindakan ini ditujukan pada kesempurnaan struktur enamel
dan dentin atau gigi pada umumnya. Seperti kita ketahui yang mempengaruhi
pembentukan dan pertumbuhan gigi kecuali protein untuk pembentukan matriks
gigi, vitamin (vitamin A, vitamin C, vitamin D) dan mineral (Calcium, Phosfor,
Fluor, dan Magnesium) juga dibutuhkan. Pada ibu-ibu yang sedang mengandung
sebaiknya diberikan kalsium yang diberikan dalam bentuk tablet, dan air minum
yang mengandung fluor karena hal ini akan berpengaruh terhadap pembentukan
enamel dan dentin bayi yang akan dilahirkan (Sihotang, 2010).
2.6.2. Pencegahan Primer
a. Upaya meningkatkan kesehatan (health
promotion)
Upaya promosi kesehatan meliputi pengajaran tentang cara
menyingkirkan plak yang efektif atau cara menyikat gigi dengan pasta gigi yang
mengandung fluor dan menggunakan benang gigi (dental floss) (Sihotang,
2010).
b. Memberikan
perlindungan khusus (spesific protection)
Upaya perlindungan khusus
yaitu untuk melindungi host dari serangan penyakit dengan membangun penghalang
untuk melawan mikroorganisme. Aplikasi pit dan fisur silen merupakan upaya
perlindungan khusus untuk mencegah karies (Sihotang, 2010).
2.6.3. Pencegahan Sekunder
Yaitu
untuk menghambat atau mencegah penyakit agar tidak berkembang atau kambuh lagi.
Kegiatannya ditujukan pada diagnosa dini dan pengobatan yang tepat. Sebagai
contoh melakukan penambalan pada gigi dengan lesi karies yang kecil dapat
mencegah kehilangan struktur gigi yang luas (Sihotang, 2010).
2.6.4 Flour dalam
Pencegahan Karies
Fluor
sebenarnya adalah bahan yang terdapat dalam beberapa makanan atau air minum,
sebab flour termasuk dalam bahan mineral yakni bahan yang terdapat dalam tanah.
Fluor bermanfaat bermanfaat bagi orang dewasa meskipun lebih berguna bagi
anak-anak. Fluor berguna untuk membuat gigi lebih keras dan lebih tahan
terhadap karies (Lubis, 2001).
Fluor
yang berbentuk ion mempunyai khasiat germicidal, karena itu fluor efektif untuk
mencegah pertumbuhan bakteri plak (Lubis, 2001).
Dalam
konsentrasi 10 % natrium flourida dapat menghambat pertumbuhan dan produksi
asam yang dihasilkan oleh bakteri. Pengaruh Ph sangat penting untuk bekerjanya
fluor dengan efektif. Efek penghancuran secara total dari stanous flourida pada
konsentrasi 600 ppm terhadap bakteri terjadi dalam waktu 4 jam pada pH 5,9
sedangkan pada pH 7,2 sel bakteri dapat hidup terus dan masih dapat tumbuh
(Lubis, 2001).
Konsentrasi
flour juga sangat berpengaruh pada terhadap pertumbuhan bakteri. Sodium
flourida dapat menahan pertumbuhan bakteri pada konsentrasi 300 dan 600 ppm,
sedangkan stanous flourida menekan kecepatan tumbuh pada konsentrasi 75 ppm.
Pada konsentrasi 150-300 ppm mempunyai efek menghancurkan bakteri dan sama
sekali menghancurkan bakteri pada konsentrasi 600 ppm (Lubis, 2001).
Flourida
mempunyai kemampuan untuk mengubah susunan kimiawi gigi sehingga tidak mudah
larut oleh pengaruh asam. Fluorida juga meningkatkan remineralisasi dan
merupakan efek anti mikroba (Lubis, 2001).
a.
Pemakaian
Fluor Secara Sistemik
Penggunaan fluor secara
sistemik yaitu untuk gigi yang belum erupsi. Dilakukan dengan beberapa cara:
1.
Fluoridasi
air minum
2.
Fluoridasi
garam dapur
3.
Fluoridasi
air susu
4.
Minum
tablet / tablet hisap fluor (Lubis, 2001).
b.
Pemakaian
fluor secara lokal
Penggunaan fluor secara
lokal yaitu untuk gigi yang sudah erupsi dilakukan dengan beberapa cara yaitu
dengan :
1.
Topikal
aplikasi dengan larutan fluor
2.
Kumur-kumur
dengan larutan fluor
3.
Menyikat
gigi dengan pasta propilaksis yang mengandung fluor
4.
Memoles
gigi dengan pasta propilaksis yang mengandung fluor (Lubis, 2001).
Cara fluor bekerja terhadap karies pada umumnya dikenal 2
teori yaitu:
1.
fluor
menguatkan gigi secara kimiawi terhadap serangan karies
2.
fluor
bekerja sebagai anti bakteri di dalam plak gigi akan mengurangi jumlah
pembentukan asam (Lubis, 2001).
2.7 Reaksi Kimia Karies
2.7.1
Interaksi Ion Asam dengan Apatit
Untuk mengetahui mekanisme dari proses
karies, maka perlu diketahui tentang reaksi kimia alami yang terjadi pada
permukaan gigi. Demineralisasi dan remineralisasi terjadi secara dinamis
pada permukaan gigi. Namun apabila terjadi ketidakseimbangan antara keduanya
dapat terjadi karies, yakni jika demineralisasi lebih besar daripada remineralisasi
(Kanzil & Santoso, 1999).
1.
Demineralisasi
Komponen mineral dari enamel, dentin, dan sementum
adalah Hidroksiapatit (HA) Ca10(PO4)6(OH)2. Pada lingkungan netral HA seimbang dengan
lingkugan lokal (saliva) yang banyak mengandung ion-ion Ca2+ dan PO43-. HA bersifat reaktif dengan ion hidrogen dibawah
pH 5,5; atau biasa dikenal dengan pH kritis HA. H+ bereaksi
secara khusus dengan fosfat dengan segera didekat permukaan kristal.
Proses tersebut dapat dapat dideskripsikan sebagai konversi PO43- menjadi
HPO42- melalui
adisi H+ dan pada saat yang sama H+ menjadi penyangga. HPO42- kemudian
tidak dapat berperan kembal pada keseimbangan HA karena mengandung PO43- lebih
daripada HPO42-. Selanjutnya
kristal HA pun larut. Inilah yang disebut deminerilasi (Kanzil, 1999).
2.
Remineralisasi
Proses demineralisasi dapat dibalikkan jika pH di
netralkan dan terdapat ion Ca2+dan PO43- dalam
jumlah yang cukup. Pelarutan apatit dapat menjadi netral dengan menyangga (buffering),
dengan kata lain Ca2+ dan PO43- pada
saliva dapat mencegah proses pelarutan tersebut. Ini dapat membangun kembali
bagian-bagian kristal apatit yang larut. Inilah yang disebut remineralisasi. Secara umum, karies gigi dapat terjadi jika
proses demineralisasi lebih tinggi dibanding proses remineralisasi (Kanzil, 1999).
2.7.2 Rekasi Lanjutan
Ion-ion asam dengan apatit
Selama erupsi gigi terdapat proses
mineralisasi berlanjut yag disebabkan adanya ion kalsium dan fosfat dalam
saliva. Pada mulanya apatit enamel terdiri atas ion karbonat dan magnesium
namun mereka sangat mudah larut bahkan pada keadaan asam yang lemah. Sehingga
terjadi pergantian, yakni hidroksil dan floride menggantikan karbonat dan
magnesium yang telah larut, menjadikan email lebih matang dengan resistensi
terhadap asam yang lebih besar. Tingkat kematangan atau resistensi asam dapat
ditingkatkan dengan kehadiran flouride. Pada
saat pH menurun, ion asam bereaksi dengan fosfat pada saliva dan plak (atau
kalkulus), sampai pH kritis disosiasi HA tercapai pada 5,5. Penurunan pH lebih
lanjut menghasilkan interaksi progresif antara ion asam dengan fosfat pada HA,
menghasilkan kelarutan permukaan kristal parsial atau penuh. Flouride yang
tersimpan dilepaskan pada proses ini dan bereaksi dengan Ca2+ dan HPO42-membentuk FA (Flouro Apatit). Jika pH turun sampai
dibawah 4,5 yang merupakan pH kritis untuk kelarutan FA, maka FA akan larut.
Jika ion asam dinetralkan dan Ca2+ dan HPO42 dapat
ditahan, maka remineralisasi dapat terjadi
(Kanzil, 1999).

KONSEP MAPPING
![]() |
|

PEMBAHASAN
Kerusakan gigi, yaitu
kondisi ketika individu mengalami gangguan pada pola perkembangan gigi atau
gangguan pada integritas struktur gigi yang diakibatkan oleh bakteri yang
tersimpan disela-sela gigi akibat tidak dibersihkan. Hasil dari aksi bakteri
yang hidup dalam plak, yang merupakan film, lengket keputihan dibentuk oleh
protein dalam saliva (musin) dan zat manis di mulut (Lynda, 2010).
Karies berasal dari
bahasa Latin yaitu caries yang artinya kebusukan. Karies gigi adalah
suatu proses kronis regresif yang dimulai dengan larutnya mineral email sebagai
akibat terganggunya keseimbangan antara email dan sekelilingnya yang disebabkan
oleh pembentukan asam mikrobial dari substrat sehingga timbul destruksi
komponen-komponen organik yang akhirnya terjadi kavitas. Dengan perkataan lain,
dimana prosesnya terjadi terus berjalan ke bagian yang lebih dalam dari gigi
sehingga membentuk lubang yang tidak dapat diperbaiki kembali oleh tubuh
melalui proses penyembuhan, pada proses ini terjadi demineralisasi yang disebabkan
oleh adanya interaksi kuman, karbohidrat yang sesuai pada permukaan gigi dan
waktu ( Hasibuan, 2011).
Respon
imun terhadap karies dalam
rongga mulut melewati tiga kompartemene cairan yang satu dengan lainnya
berhubungan yaitu air liur, cairan celah gusi, dan darah. Ketiga cairan tersebut bergabung membentuk
cairan mulut. Walaupun secara
kuantitatif cairan mulut terbanyak terdiri dari komponen air liur, secara
kualitatif cairan celah gusi mungkin berperan terhadap sejumlah faktor-faktor
imun yang penting. Pengaruh komponen
celah gusi pada respon imun cairan rongga mulut yang tidak jelas, tetapi hampir
semua polimorfonuklear leukosit (PMNL) dan sejumlah kecil IgG berasal dari
cairan celah gusi (Sinulingga, 2002)
|
Proses terjadinya karies yaitu penyebab utamanya
adalah adanya proses demineralisasi pada email. Seperti kita ketahui bahwa
email adalah bagian terkeras dari gigi, bahkan paling keras dan padat di
seluruh tubuh. Sisa makanan yang bergula (termasuk karbohidrat) atau susu yang
menempel pada permukaan email akan bertumpuk menjadi plak, dan menjadi media
pertumbuhan yang baik bagi bakteri. Bakteri yang menempel pada permukaan
bergula tersebut akan menghasilkan asam dan melarutkan permukaan email sehingga
terjadi proses demineralisasi. Demineralisasi tersebut mengakibatkan proses
awal karies pada email. Bila proses ini sudah terjadi maka terjadi
progresivitas yang tidak bisa berhenti sendiri, kecuali dilakukan pembuangan
jaringan karies dan dilakukan penumpatan (penambalan) pada permukaan gigi yang
terkena karies oleh dokter gigi (Rasinta, 2010).
Klasifikasi karies
menurut stadiumnya dibagi menjadi karies superfisialis yaitu di
mana karies baru mengenai enamel saja, sedang dentin belum terkena. Karies
media yaitu di mana karies sudah
mengenai dentin, tetapi belum melebihi setengah dentin dan karies. Karies
Profunda di mana karies sudah mengenai lebih dari setengah dentin dan
kadang-kadang sudah mengenai pulpa. Berdasarkan
keparahan atau kecepatan berkembangnya Karies Ringan disebut ringan jika
serangan karies hanya pada gigi yang paling rentan seperti pit (depresi yang
kecil, besarnya seujung jarung yang terdapat pada permukaan oklusal dari gigi
molar) dan fisure (suatu celah yang dalam dan memanjang pada permukaan gigi)
sedangkan kedalaman kariesnya hanya mengenai lapisan email (iritasi pulpa).
Karies Sedang dikatakan sedang jika serangan karies meliputi permukaan oklusal
dan aproksimal gigi posterior. Kedalaman karies sudah mengenai lapisan dentin
(hiperemi pulpa). Karies Berat/Parah dikatakan berat jika serangan juga
meliputi gigi anterior yang biasanya bebas karies. Kedalaman karies sudah
mengenai pulpa, baik pulpa tertutup maupun pulpa terbuka (pulpitis dan gangren
pulpa). Karies pada gigi anterior dan posterior sudah meluas ke bagian pulpa
(Iyod, 199).
Perawatan untuk
menghambat atau mencegah penyakit agar tidak berkembang atau kambuh lagi.
Kegiatannya ditujukan pada diagnosa dini dan pengobatan yang tepat. Sebagai
contoh melakukan penambalan pada gigi dengan lesi karies yang kecil dapat
mencegah kehilangan struktur gigi yang luas dan
juga bisa dilakukan ekstraksi pada karies yang sudah mencapai pulpa (Sihotang,
2010)

PENUTUP
5.1 Simpulan
1.
Faktor-faktor yang bisa
menyebabkan karies yaitu faktor langsung meliputi faktor host, agent, pengaruh substrat atau diet, faktor waktu dan
kebiasaan makan. Dan faktor langsung yaitu umur, jenis kelamin, sosial ekonomi,
penggunaan flour, pola makan, kebersihan mulut dan kebiasaan merokok.
2.
Proses terjadinya karies
adalah adanya proses
demineralisasi pada email. Bakteri yang menempel pada permukaan bergula akan
menghasilkan asam dan melarutkan permukaan email sehingga terjadi proses
demineralisasi.
3.
Klasifikasi karies terdiri dari klsifikasi menurut stadiumnya yaitu karies
superfisialis, karies media dan karies profunda. Klasifikasi berdasarkan
keparahan ada karies ringan, karies sedang dan karies berat atau parah. Menurut
Parkin dalam G.V Black karies
diklasifikasikan menjadi lima kelas yaitu karies kelas I, II, II, IV dan V.
4.
Cara perawatan karies yaitu tergantung pada jenis kariesnya. Apabila karies
yang di derita masih ringan bisa dilakukan penambalan atau perawatan lain yang
bisa mengembalikan fungsi gigi. Untuk karies yang sudah parah gigi harus di
ekstraksi, apabila tidak diekstraksi bisa menyebabkan peradangan pada jaringan
periodontal.
5.2 Saran
Bagi manasiswa dan mahasiswi FKG diharapkan untuk lebih
mempelajari dan memahami pengertian karies,
peran imun pada saat terjadi karies atau sesudah terjadi karies, faktor-faktor
penyebab karies, perawatan, serta klasifikasi karies.
|

Ircham, Mc. 1984. Kesehatan Mulut
dan Gigi Penyakit-Penyakit dan Pencegahannya. Yogyakarta : Sumbangsih
Offset.
Juall. Lynda. 2009. Diagnosis Keperawatan:
Aplikasi
pada Praktik Klinis. Jakarta. EGC
Lubis, SLA. 2001. Flour
dalam
Pencegahan Karies Gigi. Medan:
Universitas Sumatra
Utara . Diunduh dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/8220/1/940600081.pdf
Sally Joyston. 2002. Dasar-Dasar Karies Penyakit dan
Penanggulangannya. Jakarta : EGC
Sihotang, FMG. 2010. Karakteristik Penderita Karies Gigi Permanen
Yang Berobat Ke PUSKESMAS. Medan: Universitas Sumatra Utara. Diunduh dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20092/4/Chapter%20II.pdf
Sinulingga. Sri. 2002. Imunisasi
Pasif dalam Upaya Pencegahan Karies Gigi. Medan: Universitas Sumatra
Utara. Diunduh dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/8132/1/930600067.pdf
Tarigan,Rasinta
. 1990. Karies Gigi. Jakarta :
Hipokrates
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar