Powered By Blogger

Jumat, 25 Mei 2012

ANOMALI SUPERNUMERARY


BAB I
PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang
Radiologi merupakan salah satu unit penunjang medis yang berfungsi sebagai alat penegak diagnosis berbagai jenis penyakit, termasuk gigi geligi yang dapat ditinjau melalui pemeriksaan radiografi dental. Pada pemeriksaan radiografi gigi geligi peran pasien sangat berpengaruh terhadap hasil gambaran yang akan didapat, karena pasien diminta untuk memegang film dental dan menekannya sehingga posisi film dental menempel pada gigi dan gusi yang akan diperiksa.
Anomali perkembangan gigi sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari pada setiap individu. Supernumerary merupakan kondisi yang biasa ditemukan oleh dokter gigi.  Kondisi ini pada umumnya ditemukan pada pemeriksaan radiografis, biasanya sebagai penyebab impaksi gigi insisif sentral atau supernumerary yang erupsi secara spontan. Frekuensi terjadinya supernumerary yaitu 0,2 – 3,5 %, dan lebih sering ditemukan pada gigi permanen daripada gigi sulung.
Supernumerary pada periode gigi sulung jarang sekali terjadi.  Frekuensi terjadi supernumerary pada periode gigi sulung adalah 0,06 – 0,8 %. Supernumerary pada periode gigi sulung biasanya berupa mesiodens atau gigi supplemental insisif lateral. Mesiodens adalah kelebihan gigi yang berlokasi di maksila anterior dan berdekatan dengan sutura mid-line. Sedangkan apabila supernumerary memiliki morfologi yang hampir menyerupai gigi normal disebut supplemental.  
Seorang dokter gigi harus memiliki pengetahuan mengenai gejala dan manajemen dari supernumerary agar dapat menerapkan kepada pasien dalam prakteknya kelak.

1.2    Rumusan Masalah
1.    Bagaimana langkah-langkah melakukan foto radiografi periapikal ?
2.      Apa yang dimaksud anomali gigi khususnya gigi agenesi ?

1.3    Tujuan
1.   Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan radilogi dental.
2.   Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan agenesi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1    Radiografi Periapikal
Radiografi periapikal merupakan jenis proyeksi intra oral radiography yang secara rutin digunakan dalam praktek kedokteran gigi. Proyeksi ini menggunakan film ukuran standart (4x3 cm) yang dapat memuat 3-4 gambar gigi serta jaringan pendukungnya. (Margono.1998)
Proyeksi periapikal antara lain dapat digunakan untuk:
1.   Mengetahui kondisi elemen gigi dan jaringan pendukungnya
2.   Untuk mengetahui besar, panjang, dan bentuk gigi (dapat mendekati sebenarnya)
3.   Untuk mengetahui keadaan anatomis dari akar dan saluran akar (bentuk, jumlah dan foramen apikalnya)
4.   Keperluan perawatan Endodontik
5.  Untuk mengetahui kelainan periapikal gigi dan jaringan pendukungnya yang secara klinis sulit terdeteksi(kista, tumor, abses, granuloma dll)

6.   Untuk mengevaluasi pergantian gigi geligi
7.   Untuk menentukan situs kesehatan periodontal (Margono.1998)

2.2    Pelaksanaan Teknik Radiografi Periapikal
Secara umum tahap-tahap pelaksanaan pembuatan radiograf periapikal adalah sebagai berikut:
1.      Mengatur posisi penderita
Untuk rahang atas posisi kepala dibuat sedemikian rupa sehingga garis imaginer yang ditarik dari tragus dan alanasi sejajar dengan bidang horizontal (penderita lebih menunduk)
Untuk rahang bawah posisi kepala dibuat sedemikian rupa sehingga garis imaginer yang ditarik dari sudut mulut (angularis oris) ke tragus sejajar dengan bidang horizontal (pasien akan lebih mendongak).
2.      Mengatur penempatan dan fiksasi film
a.       Posisi film untuk gigi-gigi anterior (RA dan RB) adalah vertikal.
b.      Posisi film untuk gigi-gigi posterior (RA dan RB) adalah horizontal.
c.       Film orientation diletakkan pada oklusal atau insisal gigi dan menghadap sinar.
d.      Fiksasi film dilakukan oleh pasien dan dilakukan pada bagian belakang film dengan tekanan yang ringan sehingga film tidak melengkung.
3.      Mengatur sudut penyinaran (cone)
a.       Teknik bisecting
Film diletakkan kontak dengan bidang palatal atau lingual gigi sehingga film akan membentuk sudut dengan gigi.
Arah sinar dibuat tegak lurus dengan film. Teknik inilah yang umum digunakan di FKG karena dianggap lebih praktis dan mudah.
4.      Penyinaran
a.       Atur terlebih dahulu indikator exposure.
b.      Perhatikan sekali lagi apakah film masih dalam posisi yang benar
c.       Operator hendaknya mengambil posisi membelakangi / menjauhi arah sinar kurang lebih 3m atau berdiri dibalik tabir berlapis pb.
d.      Exposure dilakukan dengan cara menekan tombol ready light yang terdapat pada controller  (Margono.1998).

2.3    Kegagalan Radiografik Intraoral
1.      Kegagalan karena pajaran sinar :
Kegagalan karena pajaran sinar dapat menyebabkan hasil radiografik tidak dapat diinterpretasikan dengan baik, di mana sinar tersebut dapat berupa x ataupun sinar UV/cahaya terang, terjadi karena film yang tidak dapat mendapat pajanan sinar x, film mendapat pajanan sinar UV/cahaya terang, serta waktu dan nilai pajanan sinar-x yang terlalu tinggi atau rendah (Lukman, 1991).
a.       Unexposed film
Gambaran radiografik yang di hasilkan akan terlihat transparan sehingga tidak terlihat gambaran apapun pada film, terjadi karena film langsung di lakukan pemrosesan tanpa terkena pajaran sinar-x (Lukman, 1991).


b.      Film exposed to light
Gambaran radiografik yang di hasilkan akan terlihat hitam, terjadi karena pada waktu membuka film, lampu penerang(UV/Neon) tidak di matikan sehingga film menerima sinar yang berlebihan (Lukman, 1991).
2.      Kegagalan teknik pengambilan radiografik
Kegagalan ini dapat terjadi karena kesalahan dalam penempatan film, kesalahan dalam menentukan sudut kesejajaran film, kesalahan penempatan cone beam, ataupun kesalahan teknik lain (Lukman, 1991).
a.       Kesalahan penempatan film
Hasil radiografik ini dapat di lakukan pembacaan apabila dalam gambaran yang di dapat terlihat jelas struktur gigi ( mahkota sampai dengan apikal) beserta jaringan sekitarnya, disebabkan karena  terjadi kesalahan pada penempatan film maka gambaran yang di dapat akan terpotong ataupun gigi terlihat miring (Lukman, 1991).
b.      Oklusal gigi terlihat miring/condong
Gambaran radiografik yang di hasilkan akan terlihat seakan-akan posisi dari bidang oklusal gigi miring/condong, disebabkan karena ujung permukaan film tidak sejajar dengan oklusal gigi sebab pada waktu pengambilan radiografik posisi ujung film miring, kegagalan ini dapat juga di sebabkan karena film yang tidak di pegang dengan baik oleh pasien sehingga posisi film miring (Lukman, 1991).
3.      Kesalahan pengaturan sudut terhadap bidang vertikal
a.       Elongated
Gambaran radiografik yang di hasilkan akan terlihat panjang gigi yang tampak lebih panjang, disebabkan karena pengaturan sudut yang kurang/terlalu datar terhadap bidang vertikal(penempatan arah sinar-x yang terlalu ke oklusal gigi) (Lukman, 1991).
b.      Kesalahan penempatan cone beam
Kesalahan dalam menempatkan ataupun mengatur cone beam juga dapat menyebabkan kegagalan radiografik, disebabkan  karena posisi cone beam yang tidak tepat mengenai keseluruhan bagian film akan menyebabkan gambaran radiografik di hasilkan terpotong di mana bagian yang terpotong akan terlihat jernih karena bagian tersebut tidak mendapat pajanan oleh sinar-x (Lukman, 1991).
c.       Foreshortened
Gambaran radiografik yang dihasilkan akan terlihat panjang gigi yang tampak lebih panjang ataupun lebih dari ukuran sebenarnya (Lukman, 1991).
4.      Kegagalan pemrosesan film
Kesalahan dalam melakukan prosedur pemrosesan film akan berdampak pada kegagalan radiografik secara keseluruhan. Gambaran radiografik yang di hasilkan dapat memberikan dampak pada keseluruhan bagian film ataupun hanya sebagian, di mana gambaran yang terjadi akan tampak lebih terang,gelap,artefak, ataupun kabur. kegagalan pemrosesan film dapat terjadi karena kesalahan waktu dan temperatur, kontaminasi dari larutan pemrosesan/kimia, kesalahan penanganan film, kesalahan pengaturan cahaya dalam ruang gelap (Lukman, 1991).
A.    Kesalahan waktu dan temperatur
a.       Underdeveloped film
Gambaran radiografik yang di hasilkan akan terlihat sangat terang , terjadi karena waktu pemrosesan yang singkat dalam larutan pengembang (developer), temperatur larutan pengembang yang rendah, timer atau termometer yang tidak akurat (Lukman, 1991).
b.      Overdeveloped film
Gambaran radiografik yang di hasilkan akan terlihat sangat gelap terjadi karena waktu prossesing terlalu lama dalam larutan pengembang, temperatur larutan pengembang yang tinggi, timer atau termometer yang tidak akurat, larutan pengembang yang terlalu pekat (Lukman, 1991).
c.       Reticulation of emulsion
Gambaran radiografik yang dihasilkan akan terlihat pecah-pecah (seperti retak ) pada film, terjadi karena perbedaan suhu yang drastis antara larutan pengembang dengan larutan pencuci (Lukman, 1991).

B.     Kontaminasi dari larutan pemrosesan
a.       Developer spots
Gambaran radiografik yang dihasilkan akan terlihat bercak hitam pada film, karena larutan pengembang kontak dengan film sebelum pemrosesan (Lukman, 1991).
b.      Fixer spots
Gambaran radiografik yang dihasilkan akan terlihat bercak terang pada film, terjadi karena larutan fiksasi (fixir) kontak dengan film sebelum pemrosesan (Lukman, 1991).
c.       Yellow brown stains
Gambaran radiografik yang dihasilkan akan terlihat kuning kecoklatan pada film secara keseluruhan, terjadi karena kekuatan prosesing dari larutan pengembang atau fiksasi sudah lemah, waktu pemrosesan dalam larutan fiksasi yang singkat (Lukman, 1991).
C.     Kesalahan penanganan film
a.       Developer cut-off
Gambaran radiografik yang dihasilkan akan terpotong dengan gambaran terang mulai dari bagian yang terpotong sampai ujung film,terjadi karena larutan pengembang yang tidak mengenai seluruh bagian film pada waktu pengembang sehingga bagian yang tidak terkena larutan pengembang tidak mengalami pemrosesan dengan baik (Lukman, 1991).

b.      Fixir cut-off
Gambaran radiografik yang dihasilkan akan terpotong dengan gambaran gelap mulai dari bagian yang terpotong sampai ujung film, terjadi karena larutan fiksasi yang tidak mengenai seluruh bagian film pada waktu pemrosesan sehingga bagian yang tidak terkena larutan fiksasi tidak mengalami pemrosesan dengan sempurna (Lukman, 1991).

c.       Scratched film
Gambaran radiografik yang dihasilkan akan terlihat goresan terang pada film, terjadi karena lapisan film yang terkelupasoleh benda tajam (Lukman, 1991).
d.      Fingerprint artefak
Gamaran radiografik yang dihasilkan akan terlihat sidik jari pada film, terjadi karena film tersentuh jari yang terkontaminasi oleh larutan pengembang (Lukman, 1991).
e.       Overlapped film
Gambaran radiografik akan terlihat daerah yg lebih gelap atau terang pada sebagian film (lukman, 1991).
5.      Kesalahan pengaturan cahaya pada ruang
a.       Fohight beak
Gambaran radiografik yang dihasilkan akan terlihat tampak gelap pada bagian yang mendapat pajanan oleh sinar terang (UV) yang masuk (kebocoran cahaya) yang terkena sinar terang bisa sebagian atau keseluruhan atau karena pengemasan film yang tidak stabil (Lukman, 1991).
b.      Fogged film
Gambaran radiografik yang dihasilkan akan terlihat seperti berkabut atau keabuan dan kurang kontras, terjadi karena pengaturan cahaya yang kurang baik pada ruang gelap, larutan yang terkontaminasi saat pemrosesan, temperatur larutan pengembang yang tinggi, film yang kadaluarsa, penyimpanan film yang tidak baik (Lukman, 1991).

2.4     Struktur gigi
1.      Enamel
-          Lapisan paling luar atau yang menutup seluruh permukaan mahkota gigi sampai batas cemento enamel junction.
-          Paling radiopak dibandingkan lapisan gigi lainnya.

2.      Dentin
-          Lapisan dibawah enamel dengan gambaran radiografik kurang radiopak dibandingkan dengan enamel karena densitasnya lebih rendah
-          Batas antara enamel dan dentin akan tampak jelas pda hasil radiograf dengan kualitas baik
3.      Sementum
-          Lapisan tipis yang menutupi permukaan akar
-          Densitasnya sedikit lebih rendah dibandingkan dengan dentin karena itu dalam radiografik batas antar dentin dan sementum sulit dibedakan
4.      Ruang Pulpa
-          Ruang yang berisi pembuluh darah dan syaraf sehingga tampak radiolusen

5.      Saluran Akar
-          Saluran yang merupakan kelanjutan dari ruang pulpa sampai ke ujung apikal mengikuti bentuk akar gigi, tampak radiolusen
-          Bentuk dan jumlahnya bervariasi sesuai anatomi gigi masing-masing.
( Itjiningsih,1995)

Jaringan Penyangga Gigi
1.      Lamina Dura
-          Gambaran radiografik lamina dura adalah garis radiopak tipis yang yang mengelilingi akar gigi, menyambung dengan tulang korteks pada puncak alveolar (alveolar crest) ( Itjiningsih, 1995 )
-          Sudut penyinaran sangat mempengaruhi gambaran lamina dura, kadang-kadang tampak agak diffuse atau bahkan tidak terlihat (Itjiningsih, 1995)
2.      Ligamen Periodontal
-          Ligamen periodontal tersusun teruama dari kolagen sehingga tampak sebagai ruang radiolusen diantara akar gigi dan lamina dura mulai dari alveolar crest sampai ke ujung apikal dan kembali ke alveolar crest pada sisi lain gigi tersebut
-          Gambaran yang tampak bervariasi pada setiap individu, biasanya lebih tipis pada bagian tengah akar dan sedikit lebar mendekati alveolar crest dan apikal(Itjiningsih, 1995 )
3.      Tulang Trabekula
-          Disebut juga tulang cancellous atau spohgiosa
Dalam radiografik tampak terdiri lempengan dan batang radiopak yang mengelilingi kantong-kantong radiolusen sum-sum tulang. (Itjiningsih, 1995 )

2.5     Anomali Perkembangan Gigi

Anomali gigi adalah gigi yang bentuknya menyimpang dari bentuk aslinya (Itjingningsih,1991). Faktor-faktor penyebab anomali gigi, yaitu:
a.       Faktor herediter.
b.      Gangguan pada waktu pertumbuhan.
c.       Gangguan metabolisme (Itjingnigsih, 1991).
Anomali gigi yang dapat terjadi pada gigi dan rahang, antara lain:
d.      Anomali jumlah gigi.
e.       Anomali ukuran gigi.
f.       Anomali erupsi (Itjingningsih, 1991).

2.5.1 Anomali Jumlah Gigi
Jumlah gigi manusia yang normal adalah 20 gigi sulung dan 32 gigi tetap, tetapi dapat dijumpai jumlah yang lebih atau kurang dari jumlah tersebut. Kelainan jumlah gigi adalah dijumpainya gigi yang berlebih karena benih berlebih atau penyebab lain dan kekurangan jumlah gigi disebabkan karena benih gigi yang tidak ada atau kurang. Kelebihan gigi dapat terjadi pada 0,3% - 3,8% dari penduduk. Ditemukan pada gigi tetap dan gigi sulung, 90% terjadi pada rahang atas. Lokasinya pada daerah I1 atas atau regio M3 atas (Itjingningsih, 1991).
Gambar 1. Anomali Jumlah Gigi
Banyak hipotesa yang berbeda telah dikemukakan tentang etiologi kelainan jumlah gigi, sehingga saat ini tidak ada yang dapat dikatakan dengan pasti sebagai etiologi, tetapi sifat herediter mempunyai peranan dengan melihat ras dan tendensi keluarga. Faktor lingkungan dapat menyebabkan pecahnya benih gigi ketika bayi masih dalam kandungan, misalnya :
a.)     radiasi/penyinaran
b.)     trauma
c.)     infeksi
d.)    gangguan nutrisi dan hormonal
1) Anodonsia dan Hipodonsia (tidak adanya benih gigi)
Anodonsia yaitu tidak dijumpainya seluruh gigi geligi dalam rongga mulut sedangkan hipodonsia atau disebut juga oligodonsia yaitu tidak adanya satu atau beberapa elemen gigi. Kedua keadaan ini dapat terjadi pada gigi sulung maupun gigi tetap. Gigi yang sering mengalami hipodonsia yaitu gigi insisivus lateralis atas, premolar dua bawah, premolar dua atas, molar tiga dan insisivus sentralis bawah. Anodonsia mempunyai dampak terhadap perkembangan psikologis karena adanya penyimpangan estetis yang ditimbulkannya dan menyebabkan gangguan pada fungsi pengunyahan dan bicara sedangkan pada hipodonsia dapat menimbulkan masalah estetis dan diastema. Ada beberapa jenis anodontia, yaitu:
                         a. anodontia total                  : tidak adanya semua gigi       
b. anodontia parsial               : satu atau beberapa gigi tidak ada
c. pseudoanodontia               : satu atau beberapa gigi tidak ada karena impaksi   
                                                atau keterlambatan erupsi
                              d. anodontia palsu                 : gigi telah lepas atau di ekstraksi
      Perawatan yang dapat dilakukan pada penderita anodontia dan hipodontia, antara lain:
a. Pada keadaan anodonsia, bisa dibuatkan full protesa bila anak sudah dapat    
    diajak untuk bekerja sama. full protesa dapat dibuat semasa gigi sulung dan           
    diganti/disesuaikan setelah masa gigi tetap.
b. Pada hipodonsia gigi insisivus dua atas tetap dipasang removable protesa dan
    dapat diganti dengan bridge protesa bila apeks gigi insisivus satu atas  
    sebelahnya sudah tertutup sempurna (tertutup sempurna biasanya 3-6 tahun  
    setelah erupsi). Sedangkan gigi premolar yang hipodonsia dilakukan penutupan
    ruangan secara ortodonti atau dibuat removable protesa yang diganti dengan  
    fixed protesa dikemudian hari.

         

                            Gambar 2. Anodontia dan Hipodontia
2) Hiperdontia/Supernumerary teeth
Supernumerary teeth yaitu adanya satu atau lebih elemen gigi melebihi jumlah gigi yang normal, dapat terjadi pada gigi sulung maupun gigi tetap. Gigi ini bisa erupsi dan bisa juga tidak erupsi. Beberapa penelitian melaporkan prevalensinya pada anak-anak 0,3 – 2,94 %. Menurut Bodin dan Kaler, kasus ini lebih banyak dijumpai pada laki-laki. Akibat yang ditimbulkan tergantung pada posisi yang berlebih, dapat berupa ; malposisi, crowded, tidak erupsinya gigi tetangga, persistensi gigi sulung, terlambatnya erupsi gigi insisivus sentralis tetap, rotasi, diastema, impaksi, resobsi akar dan hilangnya vitalitas. Pembentukan kista dan masalah estetis juga dapat dijumpai. Diagnosa awal dari anomali ini sangat perlu untuk menghindari kerusakan yang lebih parah, gigi berlebih ini dapat didiagnosa dengan pemeriksaan radiografi, juga dengan tanda-tanda klinis yang dapat menimbulkan keadaan patologis.
Tanda-tanda klinis gigi berlebih ini antara lain terhambatnya erupsi gigi sulung, terhambatnya erupsi gigi pengganti, perubahan hubungan aksial dengan gigi tetangga dan rotasi gigi insisivus tetap.
Berdasarkan lokasinya gigi berlebih dibedakan atas :
a. Mesiodens
Lokasinya di dekat garis median diantara kedua gigi insisivus sentralis terutama pada gigi tetap rahang atas. Jika gigi ini erupsi biasanya ditemukan di palatal atau diantara gigi-gigi insisivus sentralis dan paling sering menyebabkan susunan yang tidak teratur dari gigi-gigi insisivus sentralis. Gigi ini dapat juga tidak erupsi sehingga menyebabkan erupsi gigi insisivus satu tetap terlambat, malposisi atau resobsi akar gigi-gigi insisivus didekatnya.
b. Laterodens
Laterodens berada di daerah interproksimal atau bukal dari gigi-gigi selain insisivus sentralis.
c. Distomolar
Lokasinya di sebelah distal gigi molar tiga.
Perawatan pilihan untuk masing-masing kasus harus dianalisa secara individual, tergantung kepada jenis dan posisi gigi yang berlebih. Secara garis besar perawatannya dilakukan dengan pencabutan, pengambilan secara bedah (bila gigi tersebut tidak dapat erupsi) atau pada kasus tertentu gigi dibiarkan berada dalam mulut dengan observasi (misal distomolar di belakang molar tiga dan tidak mengganggu). Pada kasus diastema yang disebabkan mesiodens, perawatan dilakukan dengan pencabutan, kemudian dilanjutkan dengan perawatan ortodonti. Waktu yang ideal untuk pengambilan gigi berlebih pada regio depan adalah usia 6-7 tahun, karena akar insisivus sentralis sedang berkembang, namun belum sepenuhnya terbentuk. Penting untuk memonitor ruangan yang ada serta oklusinya selama periode ini.
Gambar 3. Supernumerary teeth
2.5.2 Anomali Ukuran Gigi
Anomaly ukuran gigi adalah ketidaknormalan ukuran gigi baik lebih kecil maupun lebih besar dibandingkan dengan ukuran gigi normal. Anomali ukuran gigi dibedakan menjadi dua, yaitu:
a)    Makrodontia.
b)    Mikrodontia.
A. Makrodontia
Makrodontia berasal dari kata "makro" yang berarti besar dan "dont" yang menunjuk pada gigi atau gigi. Makrodontia berarti suatu kondisi dimana gigi atau sekelompok gigi tidak normal lebih besar dari biasanya. Makrodontia dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a) True macrodontia
True macrodontia adalah kondisi di mana rahang / kepala seseorang dari ukuran normal, tapi semua gigi yang normal besar. Kondisi ini jarang terjadi dan kadang-kadang dapat terlihat pada orang dengan gigantisme hipofisis atau hormon pertumbuhan berlebih.
b) Relative  macrodontia
Relative  macrodontia adalah kondisi di mana gigi yang ukuran normal, tetapi dikarenakan rahang kecil, maka gigi yang umumnya relatif lebih besar. Kondisi ini merupakan faktor keturunan, dimana ukuran gigi dapat diwariskan dari satu orangtua sedangkan ukuran rahang diwariskan dari orangtua lainnya.
Gambar 4. Makrodontia

B. Mikrodontia
Kata” mikro" berarti kecil, maka Mikrodontia adalah suatu kondisi di mana gigi atau sekelompok gigi tidak normal lebih kecil dari biasanya. Mikrodontia dibagi dua, yaitu:
a.) True Microdontia
True Microdontia adalah kondisi ketika semua gigi lebih kecil ukurannya dibandingkan ukuran normal gigi. Kondisi ini sangat jarang terjadi, namun dapat ditemui pada penderita dwarfisme pituitari.
b.) Relative Microdontia
Kondisi ini dapat ditemui pada individu yang mewarisi ukuran rahang yang besar dari salah satu orangtua, sedangkan pada orangtua lainnya memiliki ukuran gigi yang kecil, maka gigi yang tampak akan relatif lebih kecil.
Gambar 5. Mikrodontia
2.5.3  Anomali Erupsi
Anomali erupsi adalah ketidaknormalan pergantian gigi, misalnya natal teeth yaitu gigi yang sudah tidak ada sejak lahir. Selain itu adapula anomali pertumbuhan. Anomali pertumbuhan yaitu ketidaknormalan pertumbuhan gigi, misalnya impaksi yaitu terjepitnya gigi dalam rahang sehingga gigi tumbuh dalam posisi miring.

Gambar 6. Gigi Impaksi

BAB III
HASIL FOTO DAN PEMBAHASAN

     Hasil Radiografi Intraoral Periapikal
Nama pasien                      : Desi Priska
Jenis kelamin                     : Perempuan                                       
Umur                                 : 21 tahun
Alamat                              : Kediri
Operator                            : Joana I. Senanes
Nim                                   : 10610021
Kelompok/Hari                 : 4/Selasa
Jenis radiograf                   : Intraoral Periapikal
Gigi/regio                          : Anterior Rahang Bawah “Supernumerary teeth“

Gambar 7. Anomali Perkembangan “ Supernumerary teeth

Interpretasi Foto
Gigi/region: Anterior Rahang Bawah
      GIGI
a)      Mahkota, akar dan saluran akar          : Normal
b)      Restorasi                                                         : Tidak ada
c)      Lain-lain                                              : Tidak ada
JARINGAN PERIAPIKAL:
a)   Lamina Dura                                       : Normal
b)   Ligamen Periodonsium                       : Tidak normal (melebar ke arah mesial pada gigi 31   
                                                               dan 41 serta ke arah distal pada gigi 31)
JARINGAN PERIODONTAL:
a)   Ligamen Periodonsium                       : Tidak normal (melebar ke arah mesial pada gigi 31              
                                                               dan 41 serta ke arah distal pada gigi 31)
b)   Crestal Bone                                       : Normal
c)   Furcation                                             : Tidak ada
d)  Kalkulus                                              : Tidak ada
LESI PATOLOGI                                    : Tidak ada
Struktur Anatomi Normal Yang Tampak :
a)  Gigi (mahkota, akar, saluran akar)
b)  Ligamen periodontium
c)  Tulang alveolar
d)  Lamina dura
e)  Saluran pulpa

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
       Radiografik intraoral adalah suatu teknik pembuatan radiograf dimana film diletakkan didalam mulut pasien. Teknik radiografik intraoral merupakan dasar dari radiografik gigi pada rahang atas dan rahang bawah. Dengan demikian, dapat diketahui struktur anatomi yang jelas dari regio gigi yang difoto khususnya gigi yang mengalami anomali perkembangan.

4.2 Saran
Diharapkan bagi mahasiswa fakultas kedokteran gigi untuk dapat mengetahui, mengaplikasikan dan menginterpretasikan hasil dari radiologi periapikal khususnya untuk mengetahui struktur anatomi pada gigi yang mengalami anomali perkembangan dalam menjalankan tugas dan profesinya kelak.


DAFTAR PUSTAKA

Bahan Ajar Radiologi Dental Universitas Hasanuddin. Makasar. 2003
Itjiningsih W.1991. Anatomi Gigi. Jakarta: EGC
Lukman,D. 1991. Dasar-dasar Radiologi Dalam ilmu Kedokteran Gigi. Jakarta : WIDYA MEDIKA
Margono, gunawan. 1998. Radiografi intraoral. Jakarta : EGC
Petunjuk Praktikum Radiologi
Vastadi,2000; Cameron,2003